Sabtu, 26 Maret 2011

Makna Etika Upacara Nyepi Untuk Pengendalian Diri

Makna Etika Upacara Nyepi
Untuk Pengendalian Diri

Oleh: S. Swarsi Geria, Gianyar
Agama Hindu untuk umat manusia yang menganut ajaran pustaka Suci Weda yang diwahyukan oleh Sang Hyang Widhi, Agama Hindu juga mempunyai kerangka yang terdiri dari Tatwa (filsafat), Susila (etika), dan Upacara (ritual). Ketiga hal tersebut merupakan suatu kesatuan yang utuh tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Filsafat, etika dan upacara harus dipahami, dihayati, dan dilaksanakan agar tujuan agama Hindu bisa tercapai. Tujuan agama Hindu itu tiada lain, untuk mencapai kedamaian rohani dan kesejahteraan hidup jasmani. Dalam pustaka suci disebut dengan Moksartham Jagadhitaya Ca iti Dharma yang artinya dharma (agama) untuk mencapai moksa dan mencapai kesejahteraan hidup, moksa juga disebut juga mukti yang artinya mencapai kebebasan jiwatman atau kebahagiaan rohani yang langgeng (Upadesa: 2001, 5).
Bertitik tolak dari pengertian di atas semua tatanan hari raya agama Hindu mempunyai filsafat/makna, hari raya tersebut juga mempunyai etika dan juga upacara sebagai perwujudan filsafat tersebut. Dalam teori tindakan yang mengatakan bahwa nilai luhur menata sikap prilaku masyarakat, kalau dioperasional teori tersebut untuk membedah suatu hari raya Hindu, khususnya hari raya Nyepi juga mempunyai filsafat sebagai acuan untuk melaksanakan upacara penyepian dan punya etika (susila) sebagai pedoman yang baku untuk melaksanakan upacara penyepian. Hal tersebut berarti merupakan tatanan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam suatu hari raya Hindu termasuk hari raya Nyepi.
Hari raya Nyepi salah satu hari raya besar umat Hindu di Bali, filsafat (tattwa) dan susila (etika) yang menjadi acuan semua upacara hari raya Hindu di Bali. Nilai-nilai budaya Hindu yang diakui di dalam upacara yadnya termasuk upacara yadnya pada hari raya Nyepi merupakan suatu kekuatan spiritual yang dapat membentuk jati diri umat; sebagai wahana pengendalian diri dan dapat sebagai penguat integrasi umat manusia dalam arti yang sangat universal.
Hari raya Nyepi sebagai hari raya umat Hindu yang merupakan puncak identitas umat Hindu karena hari raya suci ini satu-satunya yang diakui sebagai hari libur nasional yang dimulai tahun 1983.
Hari raya Nyepi jatuh dalam satu tahun sekali tepatnya pada tahun baru saka. Pada saat itu matahari menuju garis lintang utara, saat Uttarayana yang disebut juga Devayana yakin waktu yang baik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut lontar Sang Hyang Aji Swamandala yang menyatakan bahwa, Tawur (upacara) Bhuta Yadnya atau Tawur Kesanga sebaiknya diadakan pada tilem bulan Chaitra (Tilem Kesanga), sehari sebelum hari raya Nyepi dirayakan. Menurut tradisi yang berlaku di Bali, tata urut upacara Nyepi diawali dengan melasti ke Segara (laut), Ida Bhatara melinggih di Bale Agung (Pura Desa) selanjutnya dilangsungkan upacara Bhuta Yadnya (tawur Kesanga), Nyepi, dan sehari setelah hari raya Nyepi disebut Ngembak Geni. Tujuan dilaksanakan upacara Hari Raya Nyepi adalah dapat dilihat dari berbagai aspek-aspek sebagai berikut:
1. Aspek religius merupakan suatu proses penyucian bhuwana Agung dan Bhuwana Alit (Makrokosmos dan mikrokosmos) untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir bathin (jagadhita dan moksa) terbina kehidupan yang berlandaskan Satyam (kebenaran), Siwam (kesucian), Sundaram (keharmonisan, keindahan).
2. Membiasakan diri untuk melakukan tapa, yoga dan semadi bagi masing-masing pribadi umat, ini mengandung makna evaluasi perbuatan dalam setahun dan juga sebagai pengendalian diri.
3. Aspek sosial budaya merupakan wahana untuk integrasi umat, hal itu terlihat pada saat umat Hindu bersama-sama ngiring Ida Bhatara dari awal yaitu dari pura masing-masing terus nyejer di Bale Agung dan lanjut ngiring melasti. Disini nampak kekompakan masyarakat ngiring bersama-sama.
Dalam prosesi upacara diatas sudah nampak jelas tata susila (etika upacara) menata pelaksanaan seluruh proses tersebut. Berikut ini fokus bahasan pada tulisan singkat ini “Makna etika Hari Raya Nyepi bagi Pengendalian Diri” umat Hindu maupun umat lainnya.
Makna Etika Hari Raya Nyepi untuk Pengendalian Diri
Berdasarkan uraian di atas hari raya Nyepi yang datang setahun sekali yang merupakan identitas umat Hindu. Pada saat itu umat Hindu khususnya diajarkan untuk dapat melihat diri baik dan buruknya kerja yang dilakukan seseorang. Dalam Pustaka Suci disebutkan sebagai berikut : “Manusia lahir sendiri, sendiri juga ia akan mati, sendiri ia menikmati perbuatan yang baik, sendiri pula menikmati perbuatan yang buruk (Manawa Dharma Sastra,
IV. 240).
Mengacu pada isi sloka di atas yang mengandung makna, baik buruk kerja yang dilakukan oleh seseorang akan membentuk nilai pribadmnya. Weda menegaskan bahwa melalui kerja yang baik (subhakarma) manusia akan dapat menolong dirinya sendiri dan samsara untuk mencapai kebahagiaan abadi yang bebas dan proses kelahiran kembali (moksa).
Moksa merupakan moral-religius bagi umat Hindu untuk melaksanakan kerja yang baik (Subhakarma) dan menghindarkan perbuatan yang buruk (Asubhakarma) dalam kehidupan di dunia ini (Gabde; 2000).
Pada ajaran suci ada juga menyebutkan untuk memahami makna di atas yang dianalisis dan mantram di bawah ini yaitu : “Hyang Widhi hanya menyayangi orang yang bekerja keras” Reg Weda, IV, 33, 11). Mantram tersebut menyatakan bahwa Hyang Widhi menyayangi orang yang mau bekerja keras. Maka manusia yang ingin mendapatkan berkah dari Hyang Widhi Wasa harus bekerja keras sepanjang hidup ini.
Memaknai Hari R.aya Nyepi sebagai Pengendalian Diri
Seperti telah dijelaskan diatas, hari raya Nyepi merupakan peristiwa peralihan tahun icaka, pada saat itu masyarakat diharapkan merenung (mulat sarira) untuk melihat mana perbuatan baik dan mana yang buruk selama kurun waktu setahun. Menurut etika hari raya Nyepi hal tersebut teimplisit dalam catur Berata Penyepian adalah empat pedoman yang telah ditetapkan dan harus dilaksanakan oleh umat Hindu sebagai wujud pengendalian diri dan mawas diri dengan empat pedoman : amati Geni, amati Lelanguan, Amati karya, dan Amati lelungaan. Pelaksanaan keempat etika diatas mengandung makna sebagai berikut:
1. Amati Geni Amati geni mempunyai makna ganda yaitu tidak melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan menghidupkan api. Disamping itu juga merupakan upaya mengendalikan sikap prilaku agar tidak dipengaruhi oleh api amarah (kroda) dan loba (serakah). Menurut Tattwa Hindu (filsafat) yang memaknai simbol Geni tidak disimbolkan sebagai kekuatan dewa Brahma yang sebagai pencipta. Penciptaan yang terkait dengan hasil pemikiran seseorang disini perlunya diadakan perenungan, apakah kita sudah menghasilkan pemikiran untuk kebaikan umat ataukah sebaliknya. Pernyataan tersebut terungkap dalam berbagai Pustaka Suci Hindu yang mengatakan bahwa “Keunggulan manusia sebagai mahiuk ciptaan Tuhan, terletak pada proses pemikiran seseorang yang dapat membedakan sikap prilaku yang baik dan buruk (Sarasamuscaya : sloka 82). Alat kendali proses berpikir yang paling utama menurut ajaran Hindu adalah keyakinan terhadap karma phala (Sarasamuscaya, sloka 74). Mengacu pada etika Berata Penyepian di atas sudah nampakpelaksanaan amati Geni merupakan suatu simbol pengendalian diri seseorang dalam bersikap dan berprilaku.
2. Amati Lelanguan
Amati Lelanguan yang dimaksud merupakan kegiatan seseorang untuk mulat sarira atau rnawas diri terhadap kegiatan yang berkaitan dengan wacika. Wacika adalah perkataan yang benar yang dalam beriteraksi dengan sesamanya maupun dengan Tuhan sudah dilaksanakan atau belum. Menurut tattwa Hindu dalam pustaka suci yang terungkap dalam Sarasamuscaya dan Kekawin nitisastra mengajarkan sebagai berikut :
(1) kata-kata menyebabkan sukses dalam hidup;
(2) kata-kata menyebabkan orang gagal dalam hidup;
(3) kata-kata menyebabkan orang mendapat hasil sebagai sumbu kehidupan; dan
(4) kata-kata menyebabkan orang memiliki relasi. Mengacu pada pemikiran diatas manusia Hindu telah diajarkan agar tetap melaksanakan wacika yang diparisudha yang antinya:
(a) proses interaksi sosial (komunikasi) tidak boleh berkata kasar,
(b) mencaci maki dan juga tidak boleh menyebabkan orang tersinggung dan menderita (Sarasamuscaya; Sloka 75),
Uraian di atas memberikan kita suatu pelajaran bahwa perkataan (wacika) yang diparisudha itulah yang patut dipahami dan menata sikap prilaku seseorang agar hidup ini aman dan bahagia.
3. Amati Karya
Amati Karya sebagai etika Nyepi yang bermaknakan sebagai evoluasi diri dalam kaitan dengan karya (kerja) merenung hasil kerja dalam setahun dan sebelumnya sudahkah bermanfaat bagi kehidupan manusia. Aktualisasi amati karya dalam konteks hari raya merupakan perenungan pikiran yang religius yang mengajarkan umat Hindu dalam evaluasi hasil kerja sebagai berikut, yaitu sisihkan hasil kerja untuk yadnya,
-  untuk Hyang Widhi,
-  untuk Resi,
-  untuk Leluhur maupun
-  untuk budhi.
Hal tersebut tertera dalam pustaka suci Atharwa weda III.24. 5 dan Sarasamuscaya Sloka 262, yadnya itu juga merupakan implementasi dari ajaran Tri Rna. Diajarkan pula melalui yadnya dapat terjadi proses penyucian diri manusia baik secara rohani maupun jasmani.
Amati karya bermakna ganda yang artinya tidak bekerja dan dimaknai sebagai kesempatan untuk mengevaluasi kerja kita apakah aktivitas kerja itu sudah berlandaskan dharma atau sebaliknya. Kerja yang baik (subha karma) dapat menolong manusia untuk menolong dirinya dari penderitaan. Kerja juga menyebabkan terjadinya Jagadhita dan merupakan tabungan moral bagi umat Hindu agar bekerja lebih gigih, tekun dan produktif. Berdasarkan uraian diatas ajaran suci Hindu memandang bahwa kerja sebagai yadnya dan titah Hyang Widhi; kerja dapat menolong diri sendiri dan kerja dapat menentukan identitasnya Aku bekerja, maka aku ada demikianlah yang diamanatkan oleh umat Hindu.
4. Amati Lelungaan
Amati lelungaan merupakan salah satu dari empat berata Penyepian yang berfungsi sebagai evaluasi diri dan sebagai sumber pengendalian diri. Amati lelungaan berarti menghentikan bepergian ke luar rumah, maka pada saat hari raya Nyepi, jalan raya sangat sepi. Dalam konteks yang lebih luas hal itu berarti suatu evaluasi diri. Evaluasi kerja hubungan dengan Tuhan; evaluasi kerja hubungan dengan sesama dan hubungan kerja dengan alam sekitar apakah hubungan tersebut sudah baik atau belum, sehingga kita dapat menilai hasil kerja kita se-obyektif mungkin. Mutu meningkat untuk kebaikan atau merosot, langkah selanjutnya bisa menentukan sikap. Diharapkan agar lebih memantapkan kualitas kerja untuk kualitas hidup manusia.
Simpulan 
Berdasarkan uraian diatas, pembahasan mengenai Makna Etika Upacara Nyepi bagi Pengendalian Diri adalah sebagai berikut:
1). Hari raya Nyepi merupakan salah satu hari raya yang dapat digunakan sebagai penentu jati   diri umat Hindu karena hanya hari raya inilah yang diikuti oleh pemerintah.
2). Catur Berata penyepian merupakan etika hari raya Nyepi yang dapat digunakan sebagai evaluasi diri ataupun pengendalian diri.
3). Aspek theologi hari raya Nyepi menupakan pengejawantahan dari moral religius umat Hindu yang mampu.
4). Catur Berata penyepian merupakan perenungan untuk evaluasi kerja kita minimal setahun dan mampu untuk pengendalian pikiran dan pengendalian diri.
5). Kemampuan untuk pengendalian diri berarti perlu suatu jalan untuk dapat mengatasi permasalahan hidup, jalan untuk penyucian manacika, wacika, dan kayika akhirnya mampu mewujudkan ”Jagadhita ya ca iti dharma.”•WHD. No. 482 Maret 2007.

Nyepi : Berguru Kepada Sepi ………

Apresiasi – Balipost Minggu, 15 Maret 2009.
Nyepi : Berguru Kepada Sepi ………Catatan Kecil, Persiapan Nyepi (3)
BHUMI yang sangat ramai dengan segala isinya, menurut pandangan Samakhyadarshana ternyata berasal dari Sepi. Pikiran yang sangat ramai dengan segala yang dipikirkannya, ternyata berada dari Sunyi. Para guru yang membekali hidup dan mati kita dengan Shastra, dalam hidupnya ternyata beliau sangat memuja Suwung. Mahakarya shastra yang luwih yang diciptakan oleh para Kawi Wiku ternyata bersumber dari hati yang pada mulanya merasa Senyap. Masih banyak lagi penemuan-penemuan yang mengubah sejarah manusia dan membentuk peradaban bathin manusia ternyata berpangkal dari yang itu-itu saja, yaitu sunyi, sepi, suwung, senyap, lengang, nyap-nyap, kosong, shunya, dan sejenisnya. Lalu apa? Ternyata semua ini berguru kepada Sepi.
Mari jangan bertanya apakah Sepi itu. Tapi bertanyalah pada nurani sendiri-sendiri, siapakah Sepi itu. Dengan bertanya ‘siapa’, kita sudah mempersiapkan pikiran bahwa Sepi itu adalah Hidup, bukan mati. Jika Sepi itu adalah suasana, maka ia adalah suasana yang Hidup. Jika Sepi itu adalah energi, maka ia adalah energi yang Hidup. Jika Sepi itu adalah pencipta, maka tentulah ia adalah pencipta yang Hidup. Jika buddhi-citta, kita sudah menyakini hal ini, barulah ada harapan bahwa Sepi itu bisa dicarii, ditemukan, diadakan, didapatkan, dan dijadikan Guru.
Setiap benih berguru kepada Sepi sampai akhirnya benih itu tumbuh. Setiap janin berguru kepada Sepi sampai akhirnya janin itu lahir menjadi bayi. Setiap telur berguru kepada Sepi sampai akhirnya menetas. Setiap inspirasi berguru kepada Sepi sampai akhirnya lahir karya dan mahakarya. Sepi adalah Guru yang membentuk dasar.
Guru Seni itu pasti ada pada setiap yang hidup maupun yang mati. Jika pandangan mata menuju keluar, maka carilah Guru Sepi itu di luar sana juga pada yang hidup dan pada yang mati. Jika pandangan mata memandang ke dalam, jauh ke dalam, maka carilah Guru Sepi itu di keda1nian sing pada din masrng-masing. Jadi sekali lagi, menurutparagurukehidupandanguru keinatian, can, temukan, adakan, dapatkan, danjadikanlah sebagai guru Sepi itu.
Pencarian kedalam maupun keluar, jika diyakini dengan benar, akan sama-sama bertemu di “perbatasan”. Ke luar atau ke dalam tidak berbeda dengan langkah pertama yang dilakukan ketika orang akan berjalan. Langkah pertama akan disusul oleh langkah kedua. Jika yang pertama adalah langkah kiri tentu yang menyusul adalah langkah kanan, asalkan ia berjalan. Begitu pula dengan pencarian ke luar dan ke dalam. “Pertemuan” yang tejadi di luar akan memantul ke dalam. Sebaliknya, pertemuan yang terjadi didalam akan memancar keluar. Di perbatasan tidak ada lagi yang namanya luar dan dalam, kiri dan kanan. Terbebas dari dua yang dikotomis itulah adalah satu ciri Sepi.
Tubuh ini ramai, seperti alam ini Atman itu Sepi, seperti super energi itu. Ke luar maupun ke dalam adalah sama-sama menerobos keramaian menuju Sepi. Banyak para penerobos yang lenyap di keramaian. Tapi beberapa penerobos yang sampai pada Sepi juga tak terdengar beritanya, karena begitu sampai ia atau mereka langsung menjadi Sepi itu sendiri. Itulah sebabnya, salah satu baris Kakawin Dharma Shunya menyebutkan, tan wrthyanprcipta (tak tahu bila telah sampai). •ibm dharma palguna.

Makna Hari Raya Nyepi, Ditinjau Dari Sudut Filsafat

Bagi umat Hindu pergantian tahun Caka selalu dimulai sesudah tilem kesanga (IX), sehingga Hari Raya Nyepi merupakan tahun baru. Mengapa pergantian tahun dimulai sesudah berakhirnya sasih ke IX ?, padahal satu tahun itu ada 12 bulan menurut perhitungan kalender. Disamping itu kalender Bali mengakui satu tahun itu ada 12 bulan yakni Kedasa, Jiyestha, Sadha, Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kenem, Kepitu, Kaulu, Kesanga. Mengapa tahun Caka itu dimulai dari kedasa?
Budaya  - Senin, 14 Maret 2010 | BaliPost
MAKNA HARI RAYA NYEPI
DITINJAU DARI SUDUT FILSAFAT
Bagi umat Hindu pergantian tahun Caka selalu dimulai sesudah tilem kesanga (IX), sehingga Hari Raya Nyepi merupakan tahun baru. Mengapa pergantian tahun dimulai sesudah berakhirnya sasih ke IX ?, padahal satu tahun itu ada 12 bulan menurut perhitungan kalender. Disamping itu kalender Bali mengakui satu tahun itu ada 12 bulan yakni Kedasa, Jiyestha, Sadha, Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kenem, Kepitu, Kaulu, Kesanga. Mengapa tahun Caka itu dimulai dari kedasa?
Hal ini disebabkan karena pengertian tentang angka. Umat Hindu khususnya di Bali mengakui bahwa angka yang tertinggi adalah angka 9 (sanga). Sedangkan angka sepuluh sebenarnya merupakan angka ulangan yang terdiri dari angka 1 dan 0 (angka sepuluh huruf Bali). Demikian juga angka sebelas merupakan angka ulangan 1 dan 1, begitu juga angka dua belas (12) dan sebagainya. Semuanya angka pengulangan kembali. Sedangkan angka sembilan dikatakan sebagai angka mistik (ajaib) karena satu-satunya angka kalau dikalikan angka bilangan kecuali angka nol atau pecahan, jumlahnya akan menunjukkan kelainan dari angka-angka yang lain. Sebab salah satu angka diantara angka satu sampai sembilan jika dikalikan dengan angka sembilan, hasil perkalian ini kemudian dijumlahkan pasti akan menghasilkan angka Sembilan misalnya :
9 X 4 = 36 ( 3+6=9)
9 X 5 = 45 ( 4+5=9)
Kemudian bandingkan dengan :
7 X 7 = 49 ( 4+9=13)
7 X 8 = 56 ( 5 +6=11) dan seterusnya.
Kemudian angka Sembilan juga dihormati oleh Umat Hindu dalam hubungannya dengan Dewata Nawa Sanga yaitu Sembilan dewa yang menguasai sembilan penjuru mata angin yaitu Dewa Iswara (timur), Dewa Mahesora (tenggara), Dewa Brahma (selatan), Dewa Rudra (barat daya), Dewa Mahadewa (barat),Dewa Sangkara (barat laut), Dewa Wisnu (utara), Dewa Sambu( timur laut), Dewa Siwa (ditengah).
Disamping itu angka sembilan juga dihubungkan dengan jumlah lubang yang dimiliki oleh tubuh manusia yaitu 7 di kepala dan 2 ditubuh bagian bawah, sedangkan puser (pungsed tidak merupakan lubang). Karena itulah kita mengenal nama dwara (9 lubang ditubuh kita). Kemudian jika dihubungkan sasih kesanga itu dengan letak matahari dan keadaan musim di Indonesia, merupakan paduan pengertian dan perhitungan yang sangat komplek. Mengapa demikian?, karena kesanga menurut perhitungan Bali akan jatuh pada bulan Maret perhitungan Masehi, dimana pada bulan ini kita khususnya di Indonesia akan melihat matahari tepat di tengah-tengah khatulistiwa untuk selanjutnya menuju atau bergerak ke lintang Utara. Umat Hindu mempercayai bahwa arah Utara itu adalah hulu (suci). Oleh sebab itu, pada saat-saat matahari ada dilintang Utara banyak dijumpai piodalan-piodalan. Didalam cerita Bhismaparwa dimana Bhagawan Bhisma setelah roboh di medan perang oleh Srikandi belum juga mau menghembuskan nafasnya yang terakhir karena menunggu sampai matahari berada di lintang Utara ( Utarayana ). Disamping arah Utara, arah Timur juga merupakan arah yang suci, sebab itulah paduan arah Utara dan Timur disebut Airsanya (timur laut) merupakan arah tersuci sehingga bangunan Padmasana ( sthana Ida Sang Hyang Widhi yang Maha Esa) mengambil letak arah Timur laut (Airsanya ).
Perhitungan umat Hindu khususnya di Bali begitu kompleknya dan mencakup bermacam-macam aspek, baik aspek angka, jumlah, arah, dewa dan juga musim. Sebagaimana kita ketahui bahwa di Bali khususnya dikenal dua (2) musim yang menonjol yaitu musim panas dan musim hujan. Dengan bergesernya matahari ke ambang utara, maka musim semi dan musim panas akan menyongsong, dimana musim hujan dan angin ribut telah berlalu. Dari duabelas (12) bulan yang di miliki uamat Hindu di Bali, membagikan atas dua bagian yaitu bulan kedasa sampai bulan kelima untuk Dewa, sedangkan mulai dari keenem sampai kesanga adalah bulan-bulan untuk bhuta, dimana bulan kedasa sampai bulan kelima matahari ada diambang utara, sedangkan dari bulan keenem sampai kesanga matahari berada dibagian selatan katulistiwa.
Udara dialam ini makin lama semakin kotor, akibat ulah manusia dan makhluk-makhluk lainnya yang hidup didunia ini sehingga dunia ini menjadi kotor oleh racun-racun manusia dan makhluk lainnya. Maka dengan dimulainya pergantian tahun caka yang dimulai dari bulan kedasa seolah-olah kita menginjak alam baru dengan atmosfir yang bersih, tetapi bulan demi bulan udara alam semesta ini makin lama makin banyak dikotori,sehingga perlu diadakan pembersihan-pembersihan lagi berupa korban-korban ( Caru ) dimana arti caru itu adalah membersihkan atau mengharmoniskan. Dari bulan kedasa sampai kelima alam kita masih bersih, tetapi mulai dari keenem alam kita sudah dapat digolongkan kotor,dan makin lama semakin kotor sampai akhir kesanga yang merupakan puncak dari kekotoran ini. Sebab itulah mulai dari bulan keenem kita sudah mulai waspada karena mulai sejak bulan ini tantangan dan godaan-godaan akan semakin bertambah besar. Pertama-tama akan ditandai dengan masa panca roba dari musim panas kemudian hujan, matahari mengambang keselatan mulailah adanya upacara-upacara nangluk merana untuk keselamatan tumbuh-tumbuhan supaya jangan tertimpa bahaya dan bencana.
Kemudian kita meningkat pada sasih kepitu dengan peteng pitunya, dimana gelap pada sasih tilem kepitu itu adalah merupakan bulan gelap. Kita harus menguatkan iman akan datangnya bencana dan godaan-godaan yang sangat hebat. Pada tilem kepitu umat dianjurkan supaya beryoga semadi, waspada dan waskita dan kita kenal dengan upacara Ciwa Ratri. Sasih kaulu kita sudah dihantam oleh hujan deras, angin rebut, halilintar dan sebagainya. Ini sebagai pertanda listrik-listrik berloncatkan merupakan halilintar, orang sakit semakin banyak, dan akhirnya puncak dari segalanya itu jatuh pada bulan kesanga dimana ''belabur kesanga'' merupakan bahaya dan bencana bagi kita. Jadi mulai bulan keenem dengan nangluk merana, kita sudah mulai waspada terhadap akibat dari kotornya udara dengan mengadakan upacara-upacara Caru ( korban ), sasih kepitu itu mohon kehadapan Bhatara Siwa ( Ida Sang Hyang Widhi ) dengan bersemadi semoga dianugrahi keselamatan dengan akan datangnya sasih kaulu dan kesanga yang merupakan bencana yang lebih besar terhadap manusia,tumbuh-tumbuhan dan ternak-ternak yang kita miliki. Pengaruh udara kotor ini menjelang kesanga akan ditandai dengan pertikaian-pertikaian, penyakit-penyakit dan hawa nafsu jasmaniah berkobar-kobar, orang cepat naik darah pada bulan-bulan ini, bahkan anjingpun yang masa birahinya berkala itu pada bulan-bulan ini meraung-raung mengerikan bulu roma sebagai tanda rindu kepada kekasihnya. Pada bulan tilem kesanga inilah diadakan upacara tawur atau Caru serentak diseluruh pelosok pulau Bali, untuk menetralisir kekuatan alam,hingga menjadi tenang kembali.
Besoknya harinya setelah pengerupukan atau mecaru, maka datanglah saatnya hari raya Nyepi dimana secara lahiriah, orang tidak boleh memuaskan hawa nafsu. Biasanya hawa nafsu itu timbul karena panas (makanan yang agak panas lebih enak dari yang dingin ). Karena itu lahiriahnya tidak dibenarkan berapi-api atau mempergunakan api pada saat itu.
Sesuai lontar Sundarigama pada waktu Nyepi orang harus :
Amati geni ( tidak boleh berapi-api)
Amati karya (tidak boleh bekerja )
Amati lelungan ( tidak boleh bepergian )
Amati lelanguan ( tidak boleh memuaskan hawa nafsu )
Secara rokhaniahnya Nyepi atau Sipeng ini adalah bersemadi atau mengheningkan pikiran dan perasaan menghentikan segala aktifitas (mengosongkan segala kenangan baik dan buruk), mengevaluasi diri sendiri seberapa jauh perbuatan baik yang bisa kita lanjutkan, dan seberapa besar kesalahan (perbuatan jelek ) yang perlu diperbaiki dan dibenahi di Tahun baru yang akan datang. Karena pada hari esoknya ngembak geni(api) kita sudah dapat mengisi dengan aktifitas baru dan prilaku baru pada permulaan tahun baru. Sebab tanpa mulai dari kosong kita tidak akan dapat membuat perhitungan dan perencanaan serta program yang baru. Jadi hakekat Nyepi ini adalah kita memulai segala sesuatu dengan nol seolah-olah kita memulai hidup baru pada permulaan tahun baru. [Made Saniarta].

Sejarah singkat Tahun Baru Saka (Nyepi)

Sejarah singkat Tahun Baru Saka (Nyepi) Oleh : Drs. I Gusti Made Ngurah, M.Si., IHDN – Denpasar (WHD No. 495 Maret 2008)
Kita semua tahu bahwa agama Hindu berasal dari India dengan kitab sucinya Weda. Di awal abad masehi bahkan sebelumnya, Negeri India dan wilayah sekitarnya digambarkan selalu mengalami krisis dan konflik sosial berkepanjangan. Pertikaian antar suku-suku bangsa, al. (Suku Saka, Pahiava, Yueh Chi, Yavana dan Malaya) menang dan kalah silih berganti. Gelombang perebutan kekuasaan antar suku menyebabkan terombang-ambingnya kehidupan beragama itu. Pola pembinaan kehidupan beragama menjadi beragam, baik karena kepengikutan umat terhadap kelompok-kelompok suku bangsa, maupun karena adanya penafsiran yang saling berbeda terhadap ajaran yang diyakini.
Dan pertikaian yang panjang pada akhirnya suku Saka menjadi pemenang dibawah pimpinan Raja Kaniskha I yang dinobatkan menjadi Raja dan turunan Saka
tanggal 1 (satu hari sesudah tilem) bulan 1 (caitramasa) tahun 01 Saka, pada bulan Maret tahun 78 masehi. Dari sini dapat diketahui bahwa peringatan pergantian tarikh saka adalah hari keberhasilan kepemimpinan Raja Kaniskha I menyatukan bangsa yang tadinya bertikai dengan paham keagamaan yang saling berbeda. Sejak tahun 78 Masehi itulah ditetapkan adanya tarikh atau perhitungan tahun Saka, yang satu tahunnya juga sama-sama memiliki 12 bulan dan bulan pertamanya disebut Caitramasa, bersamaan dengan bulan Maret tarikh Masehi dan Sasih Kesanga dalam tarikh Jawa dan Bali di Indonesia. Sejak itu pula kehidupan bernegara, bermasyarakat dan beragama di India ditata ulang.
Oleh karena itu peringatan Tahun Baru Saka bermakna sebagai hari kebangkitan, hari pembaharuan, hari kebersamaan (persatuan dan kesatuan), hari toleransi, hari kedamaian sekaligus hari kerukunan nasional. Keberhasilan ini disebar-luaskan keseluruh daratan India dan Asia lainnya bahkan sampal ke Indonesia. Kehadiran Sang Pendeta Saka bergelar Aji Saka tiba di Jawa di Desa Waru Rembang Jawa Tengah tahun 456 Masehi, dimana pengaruh Hindu di Nusantara saat itu telah berumur 4,5 abad. Dinyatakan Sang Aji Saka disamping telah berhasil mensosialisasikan peringatan pergantian tahun saka ini, jüga dan peristiwa yang dialami dua orang punakawan! pengiring atau caraka beliau diriwayatkan lahirnya aksara Jawa onocoroko doto sowolo mogobongo padojoyonyo. Karena Aji Saka diiringi dua orang punakawan yang sama-sama setia, samasama sakti, sama-sama teguh dan sama-sama mati dalam mempertahankan kebenaran demi pengabdiannya kepada Sang Pandita Aji Saka.
Rangkaian peringatan Pergantian Tahun Saka
Peringatan tahun Saka di Indonesia dilakukan dengan cara Nyepi (Sipeng) selama 24 jam dan ada rangkaian acaranya antara lain :
1. Upacara melasti, mekiyis dan melis. Intinya adalah penyucian bhuana alit (diri kita masing-masing) dan bhuana Agung atau alam semesta ini. Dilakukan di sumber air suci kelebutan, campuan, patirtan dan segara. Tapi yang paling banyak dilakukan adalah di segara karena.sekalian untuk nunas tirtha amerta (tirtha yang memberi kehidupan) ngamet sarining amerta ring telenging segara. Dalam Rg Weda II. 35.3 dinyatakan Apam napatam paritasthur apah (Air yang murni baik dan mata air maupun dan laut, mempunyai kekuatan yang menyucikan).
2. Menghaturkan bhakti/pemujaan di Balai Agung atau Pura Desa di setiap desa pakraman, setelah kembali dari mekiyis.
3. Tawur Agung/mecaru di setiap catus pata (perempatan) desa/pemukiman, lambang menjaga keseimbangan. Keseimbangan buana alit, buana agung, keseimbangan Dewa, manusia Bhuta, sekaligus merubah kekuatan bhuta menjadi div/dewa (nyomiang bhuta) yang diharapkan dapat memberi kedamaian, kesejahteraan dan kerahayuan jagat (bhuana agung bhuana alit). Dilanjutkan pula dengan acara ngerupuk/mebuu-buu di setiap rumah tangga, guna membersihkan lingkungan dari pengaruh bhutakala. Belakangan acara ngerupuk disertai juga dengan ogoh-ogoh (symbol bhutakala)  sebagai kreativitas seni dan gelar budaya serta simbolisasi bhutakala yang akan disomyakan. (Namun terkadang sifat bhutanya masih tersisa pada orangnya).
4. Nyepi (Sipeng) dilakukan dengan melaksanakan catur brata penyepian (amati karya, amati geni, amati lelungan dan amati lelanguan).
5. Ngembak Geni. Mulai dengan aktivitas baru yang didahului dengan mesima krama di lingkungan keluarga, warga terdekat (tetangga) dan dalam ruang yang lebih luas diadakan acara Dharma Santi seperti saat ini.
Yadnya dilaksanakan karena kita ingin mencapai kebenaran. Dalam Yajur Weda XIX. 30 dinyatakan : Pratena diksam apnoti, diksaya apnoti daksina. Daksina sradham apnoti, sraddhaya satyam apyate.
Artinya : Melalui pengabdian/yadnya kita memperoleh kesucian, dengan kesucian kita mendapat kemuliaan. Dengan kemuliaan kita mendapat kehormatan, dan dengan kehormatan kita memperoleh kebenaran.
Sesungguhnya seluruh rangkaian Nyepi dalam rangka memperingati pergantian tahun baru saka itu adalah sebuah dialog spiritual yang dilakukan oleh umat Hindu agar kehidupan ini selalu seimbang dan harmonis serta sejahtera dan damai. Mekiyis dan nyejer/ngaturang bakti di Balai Agung adalah dialog spiritual manusia dengan alam dan Tuhan Yang Maha Esa, dengan segala manifetasi-Nya serta para leluhur yang telah disucikan. Tawur Agung dengan segala rangkaiannya adalah dialog spiritual manusia dengan alam sekitar para bhuta demi keseimbangan bhuana agung bhuana alit.
Pelaksanaan catur brata penyepian merupakan dialog spiritual antara din sejati (Sang Atma) seseorang umat dengan sang pendipta (Paramatma) Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dalam din manusia ada sang din /atrnn (si Dia) yang bersumber dan sang Pencipta Paramatma (Beliau Tuhan Yang Maha Esa).
Sima krama atau dharma Santi adalah dialog antar sesama tentang apa dan bagaimana yang sudah, dan yang sekarang serta yang akan datang. Bagaimana kita dapat meningkatkan kehidupan lahir batin kita ke depan dengan berpijak pada pengalaman selama ini. Maka dengan peringatan pergantian tahun baru saka (Nyepi) umat telah melakukan dialog spiritual kepada semua pihak dengan Tuhan yang dipuja, para leluhur, dengan para bhuta, dengan diri sendiri dan sesama manusia demi keseimbangan, keharmonisan, kesejahteraan, dan kedamaian bersama. Namun patut juga diakui bahwa setiap hari suci keagamaan seperti Nyepi tahun 2009 ini, ada saja godaannya. Baik karena sisa-sisa bhutakalanya, sisa mabuknya, dijadikan kesempatan memunculkan dendam lama atau tindakan yang lain. Dunia nyata ini memang dikuasai oleh hukum Rwa Bhineda. Baik-buruk, menang-kalah, kaya-miskin, sengsara-bahagia dst. Manusia berada di antara itu dan manusia diuji untuk mengendalikan diri di antara dua hal yang saling berbeda bahkan saling berlawanan.
Kalau dituang dalam sebuah pantun boleh jadi sbb.:
Dengan bunga membuat yadnya,
                           melasti bersama pergi ke pantai.
Jika agama hanya wacana, kondisi
                           sejahtera - aman damai susah dicapai.
Maka agama harus dimengerti,
dipahami, dilaksanakan atau
diamalkan dengan baik dan benar.
Dharma Santi
Adapun Dharma Santi sebagai rangkaian akhir Nyepi merupakan hal yang wajib dilaksanakan, baik di lingkungan keluarga, warga dekat maupun warga bangsa. Dengan Dharma Santi kita dapat saling memaafkan jika ada kesalahan atau kekeliruan yang pernah terjadi setidak-tidaknya dalam jangka waktu satu tahun sebelumnya. Di samping itu juga untuk berbincang-bincang perihal kehidupan bersama kita ke depan karena kondisi yang dihadapi akan semakin sulit dan semakin komplek, serba multi; multi etnis, multi dimensi, multi kepentingan, multi karakter dan multi kultural. Oleh karena itu dharma Santi dapat dilaksanakan dimana saja dan kapan saja setelah Nyepi asal tidak lewat dari waktu kurang lebih sebulan sesudah Nyepi. Sangat baik kalau setiap habis hari raya keagamaan (bukan hanya pada Nyepi saja) diikuti dengan dharma Santi atau sima krama, atau secara spiritual sering juga dilakukan jika ada upacara piodalan di Pura dengan “meprani”. Mesima krama, meprani atau dharma Santi merupakan ajang berdialog antar sesama tentang berbagai aspek kehidupan. Karena Weda menyatakan “Wasudewa kutumbakan” (seluruh dunia adalah bersaudana). Atau sarwa asa mama mitram bhawantu (Jadikanlah seluruh penjuru dunia sebagai sahabat kami).
Untuk skup Bali, hal ini analog dengan konsep menyama braya yang perlu dimantapkan melalui dharma Santi. Jadi pergantian Tahun Saka adalah peringatan dari kebangkitan dan pembaharuan. Nyepi adalah renungan kesadaran untuk pengendalian diri. Dharma santi adalah dialog sesama demi keseimbangan hidup lahir bathin. Demikian yang dapat disampaikan, semoga ada manfaatnya. Mohon maaf atas kekuragannya. “Selamat Hari Raya Nyepi tahun Baru saka 1931, “Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa Asung kerta Wara nugraha kepada kita sekalian agar kita Santi, dapat meningkatkan bhakti sadana menuju Jagadhita yaitu dunia sejahtera. Om Ano bhadrah kratawo yantu wiswatah (semoga semua pikiran yang baik datang dari segala arah penjuru).•

Menyambut Nyepi, Mari Menyemaikan Kemuliaan

Bagi umat Hindu, tujuan utama hari raya Nyepi, yang tahun ini memasuki Saka 1932 pada 16 Maret 2010, adalah introspeksi diri! Para bijak berpendapat, sejumlah pertanyaan kadang hanya bisa dijawab dalam keheningan, dalam kesendirian, ketika pikiran diistirahatkan sejenak dan hati dibuka selebar-lebarnya menghadap Sang Pencipta.
KOMPAS - Senin, 15 Maret 2010 | 03:23 WIB
Menyambut Nyepi, Mari Menyemaikan KemuliaanOleh Raka Santeri
Bagi umat Hindu, tujuan utama hari raya Nyepi, yang tahun ini memasuki Saka 1932 pada 16 Maret 2010, adalah introspeksi diri! Para bijak berpendapat, sejumlah pertanyaan kadang hanya bisa dijawab dalam keheningan, dalam kesendirian, ketika pikiran diistirahatkan sejenak dan hati dibuka selebar-lebarnya menghadap Sang Pencipta.
Ketika surut dalam keheningan itulah konon kesadaran berbicara bagaikan api membakar segala perbuatan yang pernah kita lakukan. Apa pun perbuatan yang kita lakukan akan dibakar api kesadaran dan ”bau” yang disebarkan bagaikan jawaban dari pertanyaan yang kita ajukan.
Apakah bau itu tak sedap atau sebaliknya harum menyegarkan tergantung perbuatan yang dibakar api kesadaran itu. Namun, apa pun jawaban yang kita peroleh selalu mengandung potensi membuat kita menjadi lebih baik. Hari kemarin selalu bisa menjadi anak tangga untuk naik lebih tinggi lagi.
Muliakan kehidupan
Mencapai yang lebih tinggi, lebih baik, dan lebih membahagiakan selalu menjadi idaman setiap orang. Sayangnya, tidak semua orang menyadari bahwa yang lebih tinggi, lebih baik, dan lebih membahagiakan itu harus dicapai dengan kemuliaan. Kemuliaan adalah landasan kokoh untuk memelihara dan menumbuhkan segala usaha.
Hal itu, misalnya, telah dibuktikan suku-suku bangsa Asia Selatan pada awal abad Masehi. Setelah saling bertempur dan saling menjajah selama ratusan tahun, suku bangsa Saka akhirnya mengubah taktik peperangan menjadi misi perdamaian dan kebudayaan.
Raja Kaniska I dari dinasti Kusana di India menyambut misi perdamaian itu. Bahkan, hari Minggu 21 Maret 79, saat terjadi gerhana pada bulan purnama, sang raja memperingati setahun pemerintahannya dengan menetapkan tahun Saka sebagai sistem kalender kerajaan.
Itulah awal tahun baru Saka, tahun diteguhkannya perdamaian dan kebudayaan sebagai wujud hubungan antarkekuasaan, antarpemerintahan, dan antarmanusia.
Sejarah mencatat, perdamaian dan kebudayaan yang dikembangkan Raja Kaniska I membuahkan kemajuan dan kemakmuran di segala bidang kehidupan (Titib, 2003). Toleransi antaragama dan kepercayaan, yang sekarang populer dengan istilah pluralisme, tumbuh dengan subur. Raja yang beragama Hindu mengayomi dan memerhatikan kehidupan dan perkembangan agama Buddha.
Pada saat itu pula muncul tokoh-tokoh pengetahuan dan pemikir, seperti Nagarjuna (pengembang doktrin Buddha Mahayana), Charaka (ahli kedokteran), Mathara (pemikir strategi politik), dan seorang raja yang juga penyair, Sakhara.
Di Nusantara (Dvaipantara), penggunaan tahun Saka telah tercatat dalam prasasti Talang Tua dari dinasti Sriwijaya pada tahun Saka 606 atau 784 Masehi. Selanjutnya, pada zaman Majapahit, Mpu Prapanca mencatat dalam kitab Nagarakrtagama, perayaan tahun baru Saka dilakukan Raja Hayam Wuruk dengan melakukan persidangan besar dihadiri raja-raja bawahan dari seluruh Nusantara yang berkembang sangat luas.
Mampukah sekarang kita becermin dari kebijaksanaan dan kemuliaan yang berkembang sejak awal abad Masehi, lebih dari 1900 tahun yang lalu itu? Misalnya, adakah kejujuran dan kemuliaan yang terpancar dalam penyelidikan kasus Bank Century? Ideologi apa yang hendak ditegakkan para teroris?
Konferensi Tokoh Agama Indonesia pada Oktober 2009 masih mengungkapkan kecemasan terhadap ancaman semangat pluralisme beragama di negeri tercinta ini. Meninggalnya mantan presiden dan tokoh umat beragama, Abdurrahman Wahid, akhir tahun lalu, menambah kecemasan hilangnya pluralisme di Indonesia.
Dalam tiga tahun terakhir, terjadinya peristiwa dan tindakan pelanggaran kebebasan beragama cukup tinggi. Peraturan perundang-undangan serta peraturan daerah pun banyak yang diskriminatif.
Semua itu terjadi di negara berfalsafah Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. Di tengah-tengah penduduk bangsa yang konon taat beragama. Jadi, apakah sesungguhnya tujuan agama itu? Tuhan adalah Sang Pemberi Hidup dan kita percaya agama adalah wahyu Tuhan.
Maka, setiap agama seharusnya mengajarkan umatnya untuk memuliakan kehidupan, terutama memuliakan martabat manusia. Segala ajaran yang bertentangan dengan tujuan memuliakan kehidupan sudah sepatutnya ditafsir ulang atau tidak dilaksanakan.
Pendakian spiritual
Umat Hindu merayakan Nyepi sebagai pendakian spiritual. Secara alegoris, perayaan dimulai dengan prosesi ke pantai atau sumber-sumber air untuk ”membuang” segala kekotoran pikiran dan perasaan. Sekaligus memohon berkah kesucian dan keselamatan. Sehari menjelang Nyepi, dilakukan upacara korban Tawur Agung simbol keseimbangan diri dengan alam semesta.
Setelah mencapai keseimbangan pikiran dan perasaan dalam kesemestaan alam itulah Sang Raga diam hening (nyepi), berusaha menemukan Sang Diri Sejati.
Semoga terjadi dialog spiritual dengan hati nurani masing-masing, sejujur-jujurnya dan setulus-tulusnya. Raka Santeri Wartawan, Tinggal di Denpasar.

Ucapan Selamat Ucapan Selamat

Selamat Hari "NYEPI" Tahun Baru Saka 1933. Mari laksanakan Catur Brata Penyepian - amati geni, amati karya, amati lelungaan, amati lelanguan.
Semoga dapat menemukan kesadaran akan jati diri.