Sabtu, 26 Maret 2011

Menyambut Nyepi, Mari Menyemaikan Kemuliaan

Bagi umat Hindu, tujuan utama hari raya Nyepi, yang tahun ini memasuki Saka 1932 pada 16 Maret 2010, adalah introspeksi diri! Para bijak berpendapat, sejumlah pertanyaan kadang hanya bisa dijawab dalam keheningan, dalam kesendirian, ketika pikiran diistirahatkan sejenak dan hati dibuka selebar-lebarnya menghadap Sang Pencipta.
KOMPAS - Senin, 15 Maret 2010 | 03:23 WIB
Menyambut Nyepi, Mari Menyemaikan KemuliaanOleh Raka Santeri
Bagi umat Hindu, tujuan utama hari raya Nyepi, yang tahun ini memasuki Saka 1932 pada 16 Maret 2010, adalah introspeksi diri! Para bijak berpendapat, sejumlah pertanyaan kadang hanya bisa dijawab dalam keheningan, dalam kesendirian, ketika pikiran diistirahatkan sejenak dan hati dibuka selebar-lebarnya menghadap Sang Pencipta.
Ketika surut dalam keheningan itulah konon kesadaran berbicara bagaikan api membakar segala perbuatan yang pernah kita lakukan. Apa pun perbuatan yang kita lakukan akan dibakar api kesadaran dan ”bau” yang disebarkan bagaikan jawaban dari pertanyaan yang kita ajukan.
Apakah bau itu tak sedap atau sebaliknya harum menyegarkan tergantung perbuatan yang dibakar api kesadaran itu. Namun, apa pun jawaban yang kita peroleh selalu mengandung potensi membuat kita menjadi lebih baik. Hari kemarin selalu bisa menjadi anak tangga untuk naik lebih tinggi lagi.
Muliakan kehidupan
Mencapai yang lebih tinggi, lebih baik, dan lebih membahagiakan selalu menjadi idaman setiap orang. Sayangnya, tidak semua orang menyadari bahwa yang lebih tinggi, lebih baik, dan lebih membahagiakan itu harus dicapai dengan kemuliaan. Kemuliaan adalah landasan kokoh untuk memelihara dan menumbuhkan segala usaha.
Hal itu, misalnya, telah dibuktikan suku-suku bangsa Asia Selatan pada awal abad Masehi. Setelah saling bertempur dan saling menjajah selama ratusan tahun, suku bangsa Saka akhirnya mengubah taktik peperangan menjadi misi perdamaian dan kebudayaan.
Raja Kaniska I dari dinasti Kusana di India menyambut misi perdamaian itu. Bahkan, hari Minggu 21 Maret 79, saat terjadi gerhana pada bulan purnama, sang raja memperingati setahun pemerintahannya dengan menetapkan tahun Saka sebagai sistem kalender kerajaan.
Itulah awal tahun baru Saka, tahun diteguhkannya perdamaian dan kebudayaan sebagai wujud hubungan antarkekuasaan, antarpemerintahan, dan antarmanusia.
Sejarah mencatat, perdamaian dan kebudayaan yang dikembangkan Raja Kaniska I membuahkan kemajuan dan kemakmuran di segala bidang kehidupan (Titib, 2003). Toleransi antaragama dan kepercayaan, yang sekarang populer dengan istilah pluralisme, tumbuh dengan subur. Raja yang beragama Hindu mengayomi dan memerhatikan kehidupan dan perkembangan agama Buddha.
Pada saat itu pula muncul tokoh-tokoh pengetahuan dan pemikir, seperti Nagarjuna (pengembang doktrin Buddha Mahayana), Charaka (ahli kedokteran), Mathara (pemikir strategi politik), dan seorang raja yang juga penyair, Sakhara.
Di Nusantara (Dvaipantara), penggunaan tahun Saka telah tercatat dalam prasasti Talang Tua dari dinasti Sriwijaya pada tahun Saka 606 atau 784 Masehi. Selanjutnya, pada zaman Majapahit, Mpu Prapanca mencatat dalam kitab Nagarakrtagama, perayaan tahun baru Saka dilakukan Raja Hayam Wuruk dengan melakukan persidangan besar dihadiri raja-raja bawahan dari seluruh Nusantara yang berkembang sangat luas.
Mampukah sekarang kita becermin dari kebijaksanaan dan kemuliaan yang berkembang sejak awal abad Masehi, lebih dari 1900 tahun yang lalu itu? Misalnya, adakah kejujuran dan kemuliaan yang terpancar dalam penyelidikan kasus Bank Century? Ideologi apa yang hendak ditegakkan para teroris?
Konferensi Tokoh Agama Indonesia pada Oktober 2009 masih mengungkapkan kecemasan terhadap ancaman semangat pluralisme beragama di negeri tercinta ini. Meninggalnya mantan presiden dan tokoh umat beragama, Abdurrahman Wahid, akhir tahun lalu, menambah kecemasan hilangnya pluralisme di Indonesia.
Dalam tiga tahun terakhir, terjadinya peristiwa dan tindakan pelanggaran kebebasan beragama cukup tinggi. Peraturan perundang-undangan serta peraturan daerah pun banyak yang diskriminatif.
Semua itu terjadi di negara berfalsafah Pancasila dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama. Di tengah-tengah penduduk bangsa yang konon taat beragama. Jadi, apakah sesungguhnya tujuan agama itu? Tuhan adalah Sang Pemberi Hidup dan kita percaya agama adalah wahyu Tuhan.
Maka, setiap agama seharusnya mengajarkan umatnya untuk memuliakan kehidupan, terutama memuliakan martabat manusia. Segala ajaran yang bertentangan dengan tujuan memuliakan kehidupan sudah sepatutnya ditafsir ulang atau tidak dilaksanakan.
Pendakian spiritual
Umat Hindu merayakan Nyepi sebagai pendakian spiritual. Secara alegoris, perayaan dimulai dengan prosesi ke pantai atau sumber-sumber air untuk ”membuang” segala kekotoran pikiran dan perasaan. Sekaligus memohon berkah kesucian dan keselamatan. Sehari menjelang Nyepi, dilakukan upacara korban Tawur Agung simbol keseimbangan diri dengan alam semesta.
Setelah mencapai keseimbangan pikiran dan perasaan dalam kesemestaan alam itulah Sang Raga diam hening (nyepi), berusaha menemukan Sang Diri Sejati.
Semoga terjadi dialog spiritual dengan hati nurani masing-masing, sejujur-jujurnya dan setulus-tulusnya. Raka Santeri Wartawan, Tinggal di Denpasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar